Selasa, 25 Oktober 2011

kurikulum 1984

D. KURIKULUM SMP 1984
Adanya berbagai perkembangan baru dalam masyarakat dan dunia pendidikan menyebabkan pada tahun 1984 Pemerintah mengganti Kurikulum SMP 1975 dengan Kurikulum SMP 1984. Berbeda dari Kurikulum SMP 1975 yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, keberlakuan Kurikulum SMP 1984 tidak berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar yang digunakan adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 tentang perlunya perbaikan Kurikulum SMP 1975 disebabkan adanya kebijakan tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; penyesuaian tujuan dan struktur program; pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik; pembelajaran yang mengarah kepada belajar tuntas; dan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa kini dan masa mendatang (Dokumen Kurikulum 1975: Landasan, Program, dan Pengembangan, halaman 2) Selain disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dinyatakan dalam keputusan menteri di atas, enggantian ini disebabkan adanya berbagai faktor yang bersifat eksternal atau makro. Faktor eksternal atau makro adalah faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, ilmu yang berkembang di masyarakat. Perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan antara “program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan” (Kurikulum 1984 SMP: Landasan, Program, dan Pengembangan: hal 1). 1.Perubahan Kebijakan Pendidikan Ketika suasana politik sudah lebih kondusif, MPRS sudah diganti dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR, perwakilan daerah, dan perwakilan golongan/profesi. Dalam sidang tahun 1978 di bawah pimpinan Adam Malik sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua yang terdiri atas K.H. Masykur, R. Kartidjo, H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR menghasilkan TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Ketiga. Keadaan negara pada waktu itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan Rakyat pada landasan Falsafah Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-sungguh telah berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik, untuk selanjutnya melakukan serangkaian Pembangunan Nasional yang harus dilaksanakan secara terus-menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap dan berencana, sebagai satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan serta mencapai tujuan Nasional”. Dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tujuan pendidikan dirumuskan sesuai dengan nilai kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila, dan bukan pada program politik atau ekonomi pemerintah semata. TAP MPR nomor IV/MPR/1978 menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk ”meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”. Dibandingkan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam TAP sebelumnya rumusan tujuan pendidikan dalam TAP MPR nomor   IV/MPR/1978 ini lebih sederhana tetapi idealisme bahwa pendidikan adalah untuk menghasilkan manusia yang dicita-citakan oleh bangsa masih terpelihara. Rumusan yang sama kemudian digunakan ketika lima tahun kemudian MPR menghasilkan TAP MPR nomor II/MPR/1983. Selain merumuskan tujuan pendidikan nasional, TAP MPR nomor IV/MPR/1978 memutuskan pula tentang Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila. Dalam bagian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial, Budaya ditetapkan bahwa “dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat”. Selanjutnya ditetapkan “Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila dan unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimaksudkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai universitas,baik negeri maupun swasta”. Ketetapan ini tentu saja membawa konsekuensi adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam kurikulum dan tentu saja termasuk kurikulum SMP. Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983 MPR kembali melakukan sidang lima tahunan sebagai awal dari sidang MPR baru yang terpilih dari hasil pemilihan umum. Pada tahun 1983 itu yang menjadi Ketua MPR adalah H. Amir Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis Suhud, Haji Amir Murtono, SH, Drs. Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis, dan H. Soenandar Prijosoedarmo. Tap tentang GBHN berubah nomornya dari IV menjadi II yaitu TAP MPR nomor II/MPR/1983. Sebagaimana telah dikemukakan di ata rumuan tujuan pendidikan nasional dalam TAP MPR nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR nomor IV/MPR/1978 yaitu “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”. 2. Tujuan Institusional SMP Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kurikulum tentang Landasan, Program, dan Pengembangan maka terjadi perubahan tujuan institusional SMP. Penekanan pada menghasilkan manusia pembangunan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kepedulian utama pendidikan SMP selainmemberikan bekal untuk melanjutkan studi dan bekerja di masyarakat. Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan di SMP selalu menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan dengan model “comprehensive school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum. Pemikiran demikian memang dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah sistem persekolahan Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah kejuruan sehingga SMP harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan vokasional tersebut. Berikut adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang disebutkan di atas. Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan mendidik siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di masyarakat, khususnya bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SMP.
3. Pikiran Pokok Kurikulum SMP 1984 Kurikulum SMP 1984 dikembangkan sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975 berdasarkan tiga pertimbangan yaitu politik, perkembangan sosial, dan akademik.. Perubahan dalam kebijakan politik ditetapkan oleh TAP MPR nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang dan jalur pendidikan menyebabkan kurikulum 1975 harus diubah untuk menampung keputusan politik tersebut. Ketetapan MPR adalah suatu keputusan politik yang lebih tinggi bahkan dari keputusan pada tingkat presiden apalagi menteri. Secara politis dan hukum ketatanegaraan, Ketetapan (TAP) MPR merupakan perwujudan dari suara rakyat Indonesia. Secara operasional TAP MPR 1983 tersebut dijabarkan dalam Keputusan Menteri nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 yang menyatakan perlunya perbaikan kurikulum dan perbaikan tersebut harus mencakup:
a. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa
b. Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang berpola Program Inti dan program    
    pilihan.
c. Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra kogniti, afektif, dan
    psikomotorik.
d. Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas dan disesuaikan dengan  
    kecepatan belajar masing-masing anak didik.
e. Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan lapangan
    kerja masa kini mau pun masa mendatang.
 Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi makro terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan itu. Perkembangan kehidupan yang mulai memanfaatkan teknologi informasi, perkembangan kehidupan politik yang sudah mulai tidak lagi sensitif terhadap bahaya komunisme, menyebabkan kurikulum SMP 1975 dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan. Perkembangan lain yang cepat dalam masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi menghendaki adanya berbagai penyempurnaan terhadap Kurikulum SMP 1975. Faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi terhadap kurikulum 1975 yang dilakukan pada tahun 1981. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan “ belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata pelajaran dengan taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu beratnya materi pelajaran untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Dengan demikian pengembangan kurikulum SMP (Sekolah Menengah Umum Pertama) perlu berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-mengajar yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk memeroses perolehannya” (Dokumen Kurikulum 1984:1). Kemampuan untuk memeroses perolehan tersebut dikenal dengan nama Ketrampilan Proses. Pendekatan Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975. Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki langkah-langkah yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran aktif peserta didik dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Melalui pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam belajar dan mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan merumuskan masalah yang diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari berbagai sumber informasi yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, mengolah informasi yang telah dikumpulkan dari sumber, dan merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta didik). Sayangnya, pendekatan Ketrampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA tidak terlaksana dengan baik di lapangan.
  124
Ketidakberhasilan pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga CBSA, di lapangan disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama adalah kemampuan guru yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan tersebut. Faktor kedua, fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan sumber lainnya tidak tersedia di sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten kurikulum yang dianut masih terpaku pada pengertian tradisional dan hanya menganggap pengetahuan sebagai konten kurikulum. Ketrampilan yang perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk mampu memeroses informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak diajarkan pada peserta didik. Dalam keadaan demikian, peerta didik tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya untuk merumuskan pertanyaan/masalah, mencari dan mengumpulkan sumber informasi, mempelajari sumber informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan, mengolah informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi. 4.Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984 Struktur Kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMP 1975 yaitu terdiri dari Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Meski pun demikian, beban belajar setiap semester berbeda karena Kurikulum SMP 1984 menggunakan pemikiran bahwa beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih rendah dibandingkan kelas sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III 36/38). Tabel 7.3 Struktur Kurikulum dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984 KELAS/SEMESTER I II III PROGRAM JAM PELAJARAN BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6 JUMLAH PENDIDIKAN UMUM 1.Pendidikan Agama 2.Pendidikan Moral Pancasila 3.Pendidikan Sejarah Perjuang- 2 2 - 2 2 2 2 2 - 2 2 2 2 2 - 2 2 2 12 12 6
  125
KELAS/SEMESTER
I II III PROGRAM
JAM PELAJARAN
BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6
JUMLAH an Bangsa 4.Pendidikan Olahraga dan Kesehatan 5.Pendidikan Kesenian 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 18 12 PENDIDIKAN AKADEMIS 6. Bahasa Indonesia 7. Bahasa Daerah*) 8. Bahasa Inggeris 9. Ilmu Pengetahuan Sosial 10.Matematika 11.Ilmu Pengetahuan Alam a. Biologi b. Fisika 5 (2) 4 4 6 3 3 5 (2) 4 4 4 3 3 5 (2) 4 4 6 2 3 5 (2) 4 4 4 2 3 5 (2) 4 3 6 2 3 5 (2) 4 3 4 2 3 30 (12) 24 22 30 14 18 PENDIDIKAN KETRAMPILAN 12.Pendidikan Ketrampilan**) 4 4 4 4 4 4 24 JUMLAH JAM PELAJARAN PER MINGGU 38 40 38 40 37 39 37 39 36 38 36 38 222 234 *) Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah **) Pada setiap semester dipilih 1 (satu) Paket Bahan Pengajaran Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dengan Kurikulum SMP 1984 yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan Fisika. Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa didasarkan pada TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR nomor II/MPR/1983 bidang studi ini adalah bagian dari Pendidikan Pancasila bersama-sama dengan   126
Pendidikan Moral Pancasila. Dengan demikian maka bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah bagian dari pendidikan kewargaan negara dan bukan kajian akademis. Oleh karena itu maka Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dikelompokkan sebagai bidang studi dan Program Pendidikan Umum. Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa materi utama sebagai bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang dimulai dengan kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya, keberadaan bidang studi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan setiap warganegara memiliki pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan bangsanya untuk membentuk memori kolektif sebagai warganegara, ideologi dan tatanegara, bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia. Materi sejarah dalam Program Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi persyaratan tersebut. Oleh karena itu bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa bukan dianggap sebagai pendidikan akademis sejarah tetapi sebagai pendidikan kewargaannegara. Konsep Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara sangat menarik tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh. Jika Program Pendidikan Umum dimaksudkan sebagai pendidikan kewargaannegara, pernah dikembangkan maka bahasa Indonesia dan Geografi Indonesia seharusnya dimaksukkan ke dalam kelompok Program Pendidikan Umum. Apabila materi pendidikan Geografi Indonesia dikemas dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersamaan dengan materi Sejarah Indonesia maka sudah sepantasnya jika IPS menjadi bagian dari kelompok Pendidikan Umum ebagaimana ditetapkan dalam Dasar dan Tujuan Pendidikan yang tercantum dalam Buku I tentang Ketentuan Pokok. Tampaknya, ide kurikulum tersebut tidak diterjemahkan secara utuh dalam struktur kurikulum dan pengelompokkan bidang studi.
  127
Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara walau pun terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi IPS sebagaimana dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam GBPP disebutkan bahwa bidang studi IPS bertujuan “untuk mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa dalam melihat hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut jelas memperlihatkan posisi bidang kajian akademis yaitu kemampuan berpikir dalam melihat fenomena bidang kajian (hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya). Warna akademik yang dinyatakan dalam tujuan bidang studi IPS bersesuaian dengan pendekatan yang dirumuskan dalam dua pendekatan yaaitu (1) “pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan (2) “pendekatan struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari generalisasi secara luas dan mendalam”. Terlepas dari adanya konflik dalam berpikir antara pendekatan integrati dan pendekatan struktural tetapi kedua pendekatan tersebut merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin ilmu. Artinya, IPS dalam posisi sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang dirancang sebagai pendidikan akademis, bukan pendidikan kewargaannegara (bukan kewarganegaraan yang menjadi label mata pelajaran). Landasan berpikir demikian menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa dalam kelompok Program Pendidikan Umum merupakan sesuatu yang wajar walau pun menimbulkan masalah dalam ide kurikulum tentang pendidikan kewargaannegara. Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua yaitu biologi dan fisika dengan masing-masing beban belajar berbeda, mencerminkan adanya tarik ulur dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (science). Secara filosofis tampak ada tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran perenialisme yang memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang terintegrasi dengan label
  128
berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka yang beraliran esensialisme yang kokoh dalam posisi bahwa pendidikan disiplin ilmu harus sesuai dengan kaedah disiplin ilmu termasuk nama mata pelajaran. Menurut pandangan perenialisme pendidikan biologi, fisika, kimia dapat disatukan dalam sebuah organisasi konten kurikulum yang dinamakan IPA (science). Bagi pengikut esensialisme penggabungan dengan label seperti IPA sedangkan bagi pengikut perenialisme penggabungan eperti IPA adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima. Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak merinci mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur Program dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984. Memang sangat disayangkan ketiadaan informasi mengenai proses yang menyebabkan terjadinya keputusan tersebut untuk lebih dapat memahami ide kurikulum pengembangan bidang studi IPA, apalgi hal tersebut tidak terjadi dalam bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide kurikulum yang cukup mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS yaitu bidang studi IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach” sedangkan IPS menggunakan pendekatan “integrated approach”. Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum dan Akademis, Kurikulum SMP 1984 tidak lebih sederhana dibandingkan Kurikulum SMP 1975. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA yang terbagi dua atas Biologi dan Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1984 menjadi dua lebih banyak dari Kurikulum SMP 1975. Kesederhanaan Kurikulum SMP 1984 dibandingkan Kurikulum SMP 1975 hanya tejadi pada mata pelajaran Ketrampilan yang hanya mengenal satu jenis dibandingkan dua jenis pada Kurikulum SMP 1975 (pilihan wajib dan bebas). Dalam Buku I tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan bahwa mata pelajaran ketrampilan diarahkan pada ketrampilan yang terkait dengan perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh
  129
karena itu disarankan ketrampilan untuk perkotaan dalam bidang perbengkelan otomotif dan elektronika karena semakin banyaknya mobil dan pemakaian komputer. Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan ketrampilan dalam bidang bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa, perkoperasian, dan penyuluhan pertanian. Prinsip yang mirip, walau pun tidak sama, dengan kebijakan tentang bidang studi IPA diterapkan juga untuk IPS. Jika dalam bidang studi IPA struktur kurikulum secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi yaitu Biologi dan Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam Buku II Ilmu Pengetahuan Sosial Kurikulum SMP 1984 disebutkan “bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang studi. Pelaksanaan Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah waktu yang tersedia untuk Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak 1 jam pelajaran (sic!) per minggu dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan kelas III” (Buku II, 1986:4). Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan sebagai suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS yaitu antara definisi IPS dengan ketentuan menjadikan sejarah sebagai sub-bidang studi dengan GBPP yang terpisah dari GBPP IPS yang berisikan materi geografi, kependudukan, ekonomi, sosiologi dan anthropologi. Kiranya adanya pengaruh pengambil kebijakan kurikulum yang cukup dominan dalam bidang sejarah dan menginginkan pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan esensialisme menyebabkan terjadinya keputusan kurikulum yang demikian. Penyelesaian dua GBPP yaitu IPS dan Sejarah tentu saja menyebabkan persoalan konseptual yang cukup mengganggu mengenai pendidikan IPS yang menjadi komponen materi Kurikulum SMP 1984. Hal yang terjadi pada bidang studi IPS dalam inkonsistensi antara pengertian dan pemecahan subbidang studi tidak terjadi pada bidang studi IPA karena GBPP IPA tidak menyebutkan IPA sebagai suatu bidang studi terpadu.
  130
Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran ketrampilan tentu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin dimaksukinya setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMP dan tidak melanjutkan pada pendidikan di atasnya. Perbedaan mata pelajaran ketrampilan yang disarankan untuk lingkungan pendidikan yang berbeda adalah kebijakan yang mengarah kepada diversifikasi kurikulum. Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan menjadi suatu yang didukung oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan tentang mata pelajaran ketrampilan dalam Kurikulum SMP 1984, sebagaimana kurikulum sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban penyelenggara pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama pemerintah) untuk melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata kuliah pilihan, apabila dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa SMP tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian, dan ketrampilan yang memadai sampai hari ini sebagaimana halnya dengan biaya operasional dan pemeliharaan. Kebijakan kurikulum yang tidak didukung oleh kebijakan pengadaan fasilitas belajar berkelanjutan sampai masa kini menyebab sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan siap untuk melaksanakan kurikulum. Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam dokumen kurikulum (curriculum as plan) menjadi suatu realita kurikulum (implemented, observed, atau taught curriculum). Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dan sebelumnya dengan Kurikulum SMP 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata pelajaran antar semester (alternate semester offering). Dalam konsep ini suatu mata pelajaran tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap semester. Kurikulum SMP 1975 menerapkan konsep penawaran antar semester untuk bidang studi ketrampilan pilihan terikat dan pilihan bebas sedangkan untuk Kurikulum SMP 1984 penawaran antar semester diberlakukan untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Walau pun keduanya menerapkan konsep antar semester, konsep penawaran antar semester untuk bidang studi Ketrampilan
  131
Terikat dan Ketrampilan Pilihan (Kurikulum SMP 1975) memiliki perbedaan dengan penawaran antar semester bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (Kurikulum SMP 1984). Penawaran antar semester dalam Kurikulum SMP 1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Ketrampilah Pilihan Terikat dan Ketrampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran ketrampilan yang dapat diselesaikan dalam satu semester sebagai satu kesatuan utuh dan tidak berlanjut pada semester lain. Konsep demikian banyak digunakan dalam kurikulum perguruan tinggi karena hakekat materi satu mata kuliah yang sepenuhnya dikemas secara utuh dalam Sistem Credit System (SKS) sehingga materi satu semester suatu mata kuliah merupakan satu kesatuan utuh (terkecuali mata kuliah prasyarat) dan tersedianya banyaknya mata kuliah pilihan pengganti mata kuliah yang tidak ditawarkan pada semester terkait. Kurikulum SMP 1984 tidak menggunakan prinsip di atas dalam mengembangkan bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa walau pun ditawarkan dalam model antar semester. Sebagaimana bidang studi lainnya, materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa semester 4 adalah kelanjutan semester 2 dan materi semester 6 adalah kelanjutan materi semester 4 dan 2. Kembali ketiadaan dokumen mengenai proses pengembangan ide kurikulum dan dalam hal ini berkenaan dengan ide kurikulum bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa menyebabkan kesulitan kita memahami ide kurikulum yang digunakan. Suatu hal yang jelas bahwa materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa semester 2 berkaitan dengan materi semester 4 dan materi semester 6 sehingga penawaran pembelajaran yang bersifat selang semester (alternate) semester mengundang masalah yang berkaitan dengan prinsip tata urut (sequence) dalam pengembangan materi kurikulum dan dalam proses pembelajaran. Memang harus diakui bahwa untuk unit kelas atau tahun akademik penawaran materi pembelajaran yang bersifat selang semester mungkin bukan masalah besar tetapi harus pula diingat bahwa kurikulum bukan berkenaan dengan kelas tapi sekolah dan keberhasilan penguasaan materi pembelajaran bersifat menyeluruh.
  132
Penilaian hasil belajar bidang studi yang digunakan Kurikulum SMP 1984 dalam bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak sama dengan kurikulum perguruan tinggi yang menggunakan SKS. Suatu mata kuliah diakhiri dengan penilaian hasil belajar yang menentukan keberhasilan seorang mahasiswa dalam mata kuliah tersebut dan tidak lagi terkait dengan mata kuliah lain yang akan dikontrak oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kebijakan kurikulum di SMP tidaklah demikian karena materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dipelajari di semester 2 dan 4 akan masuk dalam ujian akhir sekolah. Oleh karena itu sistem penawaran selang semester (alternate semester) tidak sesuai dengan prinsip kurikulum tingkat persekolahan. Pertimbangan yang mungkin digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang bersifat selang semester untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah beban belajar keseluruhan per semester. Ada pertimbangan yang cukup kuat agar beban belajar setiap semester tidak melebihi 38 jam untuk kelas I, 37 jam untuk kelas II, dan 36 jam untuk kelas III sehingga beban belajar keseluruhan Kurikulum SMP 1984 sama dengan Kurikulum SMP 1975 yaitu 222 jam atau 234 bagi sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah. Pertimbangan mengenai beban belajar semester ini berakibat pada alokasi beban belajar bidang studi Matematika. Bidang studi Matematika menggunakan alokasi beban belajar yang tidak sama antara semester ganjil (1,3,dan 5) dengan semester genap (2,4, dan 6). Di setiap semester ganjil dimana Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak ditawarkan maka bidang studi Matematika memiliki beban belajar 6 sedangkan di setiap semester genap ketika bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ditawarkan dengan beban belajar 2 jam maka beban belajar bidang studi Matematika berkurang dari 6 menjadi 4 jam. Akibatnya, distribusi jam belajar bidang studi Matematika Kurikulum SMP 1984 berbeda dari Kuurikulum SMP 1975 yang memiliki beban belajar sama di setiap semester yaitu masing-masing 5 jam.   133
Dalam pemikiran kurikulum beban belajar adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan secara serius. Peserta didik yang terlalu lelah tidak mungkin menghasilkan kualitas belajar yang baik. Banyak studi yang menunjukkan bahwa kelelahan merupakan faktor mediasi (mediating variable) yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang. Meski pun demikian, pemikiran bahwa beban belajar yang berbeda antara kelas I, II, III cukup mengundang permasalahan jika pengurangan beban belajar dilakukan hanya untuk mempersiapkan peserta didik untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Oleh karena peserta didik yang akan menempuh ujian pada jamaknya harus memiliki jam belajar yang lebih banyak dan intensif dibandingkan sebelumnya. Pikiran baru yang dikembangkan oleh Kurikulum SMP 1984 adalah materi muatan lokal. Muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984 dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan masyarakat setempat. Pemikiran tentang materi muatan lokal didasarkan pada pemikiran bahwa kurikulum harus relevan dengan masyarakat yang dilayani kurikulum. Pengembangan materi nasional kurikulum untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat dan komunitas yang berdiam di mana pun di Indonesia bahkan di luar negeri. Sedangkan kebutuhan masyarakat setempat yang dilayani kurikulum harus diberi alokasi dan program dalam bentuk kurikulum muatan lokal. Dalam kebijakan kurikulum mengenai materi muatan lokal ditentukan bahwa keputusan mengenai mata pelajaran muatan lokal ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan masukan dari Kantor Departemen Kabupaten dan Kotamadya21. Berdasarkan pertimbangan kepentingan daerah kabupaten dan kotamadya maka Kantor Wilayah Departemen 21 Pada masa itu sistem pemerintahan bersifat sentralistis. Di setiap propinsi ada perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dinamakan Kantor Wilayah untuk tingkat propinsi  dn Kantor Departemen untuk tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Kotamadya adalah istilah yang digunakan pada masa itu dan sekarang berubah menjadi Kota. 
  134
Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan mata pelajaran untuk materi muatan lokal. Pada umumnya penetapan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk materi muatan lokal adalah bahasa daerah dan kesenian. Selain itu mata pelajaran materi muatan lokal lainnya berkenaan dengan kemampuan vokasional yang berkenaan dengan pekerjaan yang banyak di masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan jasa. Kebijakan mengenai materi muatan lokal yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1984 sebenarnya dapat memberikan orientasi baru kurikulum. Dengan adanya materi muatan lokal, terlebih materi yang berkenaan dengan ketrampilan vokasional, Kurikulum SMP 1984 memberikan kemungkinan kepada tamatan SMP untuk memasuki dunia kerja dengan bekal kemampuan vokasional yang cukup sehingga dunia kerja mendapatkan tenaga kerja yang siap untuk melaksanakan pekerjaannya. Adanya ketetapan mengenai bahasa dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran dalam muatan lokal memberikan dasar pendidikan yang kuat karena peserta didik tidak tercabut dari akar budaya masyarakat darimana mereka berasal. Konsekuensi dari materi muatan lokal ini tentu saja sekolah harus melakukan kajian kebutuhan (need analysis) masyarakat. Kajian tersebut untuk melihat ketersediaan vokasi yang memerlukan tenaga kerja dan kemampuan yang diperlukan oleh vokasi tersebut. Kajian kebutuhan ini penting agar kurikulum tidak menyediakan tenaga kerja di bidang vokasi yang sudah jenuh atau dengan ketrampilan yang tidak sesuai dengan tuntutan vokasi. Untuk mampu melakukan kajian kebutuhan (need analysis) maka bagian kurikulum di setiap sekolah atau yang bertanggungjawab dalam mengembangkan materi muatan lokal harus terlatih untuk melalukan kajian kebutuhan. Konsekuensi lain dari kebijakan tentang muatan lokal terutama berkenaan dengan mata pelajaran yang sifatnya mengembangkan ketrampilan vokasional tertentu, sekolah memerlukan fasilitas belajar yang cukup dan dari jenis yang digunakan di masyarakat. Artinya, sekolah memerlukan dana khusus untuk pengadaan fasilitas belajar bagi vokasional tertentu karena sebelumnya SMP tidak dilengkapi dengan fasilitas demikian. Ketersediaan fasilitas belajar untuk materi muatan lokal yang berorientasi vokasional merupakan masalah besar bagi pemerintah. Dana yang tersedia untuk itu dapat dikatakan terbatas sedangkan kebijakan materi muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984 bersifat nasional. E. KURIKULUM SLTP22 1994 Pada tahun 1994 Pemerintah memberlakukan kurikulum baru menggantikan Kurikulum SMP 1984. Sesuai dengan tradisi penamaan kurikulum di Indonesia, kurikulum baru yang diberlakukan mulai tahun 1994 dinamakan Kurikulum SMP 1994. Pemberlakuan kurikulum baru ini disebabkan paling tidak oleh tuntutan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954, TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993. Undang-Undang nomor 2 tahun 1989, yaitu undang-undang kedua mengenai pendidikan yang dihasilkan bangsa Indonesia, memperkenalkan jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (6 tahun) dan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (3 tahun). Pengertian Pendidikan Dasar 9 tahun sebagaimana yang ditetapkan dalam UU nomor 2 tahun 2003 digunakan sampai saat sekarang. Konsekuensi dari pengertian pendidikan dasar yang ditetapkan UU nomor 20 tahun 1989 maka pemikiran kurikulum untuk Pendidikan Dasar berubah, meliputi kurikulum untuk SD dan kurikulum SLTP. 1.Perubahan Kebijakan Pendidikan Pada tahun 1988 MPR bersidang untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988. Mengenai 22 Berdasarkan ketetapan dalam  Undang‐undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan Pasal 13  Ayat (1) disebutkan “Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat”. Istilah SLTP tidk digunakan dalam pasal‐pasal yang terdapat pada Ketetapan.  
pendidikan TAP MPR nomor II/MPR/1988 merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
           a.Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial.
g.Pendidikan Pancasila termasuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulaai daari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta Titik (g) jelas menunjukkan apa yang harus ada dalam kurikulum yaitu Pendidikan Pancasila. Dalam Pendidikan Pancasila terdapat materi P4, PMP dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa. Lima tahun kemudian ketika MPR bersidang pada tahun 1993 maka TAP MPR nomor II/MPR/1993 tentang GBHN telah merumuskan tujuan pendidikan nasional berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam TAP nomor II/MPR/1988. Pendidikan dirumuskan untuk: mewujudkan manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional;makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa. Ada perbedaan yang cukup konseptual dan bukan hanya sekedar redaksional antara tujuan yang dirumuskan TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993. Diantara perbedaan kualitas antara keduanya adalah semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial, kerja keras, bertanggungjawab, mandiri, serta bertanggungjawab tidak lagi menjadi tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993. Perbedaan kualitas yang diinginkan sebagai tujuan pendidikan nasional antara kedua TAP tersebut mencerminkan adanya perubahan suasana politik yang cukup mendasar. Pembangunan ekoonomi menjadi semakin kuat walau pun fokus pada pembangunan pada bidang lainnya tetap menjadi perhatian, dan pendidikan adalah salah satu fokus penting Pemerintah dalam pembangunan. Dalam kedua TAP MPR yang disebutkan terkait dengan pendidikan, TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993 di atas, nama pendidikan sejarah perjuangan bangsa masih disebutkan. Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 sebagaimana dikutip di atas telah secara jelas menunjukkan bahwa pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah bagian dari Pendidikan Pancasila. Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993 pendidikan sejarah perjuangan bangsa juga dinyatakan yaitu titik e pada bagian Pendidikan, dinyatakan sebagai berikut: Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan memperluas, dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, danjenjang pendidikan termasuk prasekolah. Ketetapan tersebut tidak menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai bidang studi atau pun mata pelajaran. Pada masa Prof. Dr Nugroho Notosusanto yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maka pendidikan sejarah perjuangan bangsa menjadi bidang studi dan kemudian dicantumkan dalam Kurikulum SMP 1984. Setelah beliau wafat dan digantikan Prof. Dr. Fuad Hassan, kebijakan tentang Pendidikan Pancasila berbeda dari kebijakan sebelumnya. Pendidikan Pancasila tercantum dalam mata pelajaran di Kurikulum SMP 1994 sebagai mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Unsur pendidikan moral Pancasila dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tetapi unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak menjadi bagian dari mata pelajaran tersebut dan tidak pula menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri walau pun TAP MPR tentang Pendidikan Pancasila tidak berubah. Memang materi Pendidikan Pancasila tidak perlu selalu menjadi nama mata pelajaran tetapi kebijakan yang tercantum dalam TAP MPR adalah suatu keharusan politik untuk memuat unsur-unsur Pendidikan Pancasila sebagai materi suatu mata pelajaran (Pendidikan Pancasila). Dengan hilangnya unssur pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unssur lain dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terjadi diskontinuitas antara TAP MPR dengan kebijakan kurikulum. Pada tahun 1989 ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 maka tujuan pendidikan nasional mempunyai arah baru. Pendidikan dipandang sebagai suatu upaya yang memiliki tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”23 (UU nomor 2 tahun 1989). Dari rumusan ini jelas bahwa pendidikan tidak hanya memiliki tujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik semata sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 atau pun Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 atau TAP MPRS XXVI/MPRS/1966. Dokumen itu jelas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan berkonsentrasi pada pengembangan potensi peserta didik sedangkan dalam UU nomor 2 tahun 1989 pendidikan memiliki dua tujuan yaitu berkenaan dengan kehidupan bangsa dan manusia. Entah bagaimana caranya pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa mengembangkan kehidupan manusia yang cerdas. Pada dasarnya, hanya kehidupan manusia yang cerdas yang dapat membawa pada kehidupan bangsa yang cerdas. Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tidak menganut paham bahwa kecerdasan kehidupan bangsa hanya dapat dikembangkan melalui kehidupan manusianya. Oleh karena itu pada tujuan pendidikan kedua yang berkenaan dengan manusia tidak dirangkumkan sebagai kualitas kehidupan bangsa yang diinginkan. Manusia Indonesia seutuhnya yaitu yang menyangkut kualitas keimanan dan ketakwaan, budi pekerti, berpengetahuan dan berktrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri tidak harus menjadikan kualitas kehidupan bangsa berkembang. Tampaknya, rumusan itu menganut faham bahwa kualitas kehidupan bangsa yang cerdas menjadi sesuatu yang terpisah dari kualitas manusia yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan. Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam UU nomor 2 tahun 1989 ini tidak pernah pula diketahui pencapaiannya. Evaluasi terhadap pencapaian hasil pendidikan lebih diarahkan pada ketentuan mengenai kelulusan seseorang dari suatu unit atau lembaga pendidikan tertentu. Kualitas yang harus dikuasai seorang peserta didik tidak pula didasarkan pada tujuan pendidikan nasional sehingga alat evaluasi nya pun tidak dikembangkan untuk mengumpulkan informasi mengenai pencapaian tujuan pendidikan. Soal-soal yang dikembangkan untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) atau pun Ujian Nasional (UN) adalah untuk menentukan kelulusan seorang siswa, bukan untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan nasioanal. Oleh karena itu sifat tujuan pendidikan yang mendua itu pun seolah-olah tidak menimbulkan masalah kependidikan. Dalam ketetapan pada Pasal 39 ayat (2) dan (3) Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Isi Kurikulum maka dicantumkan materi pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan sebagai materi wajib dan bahan kajian wajib. Materi Pendidikan Moral Pancasila dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur lain yang terantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 tidak tercantum dalam undang-undang tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan
  140
(3) tidak tercantum unsur pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unsur-unsur lainnya sebagai materi Pendidikan Pancasila atau pun pneididkan Kewarganegaraan. Dengan demikian terjadi disharmoniasasi ketetapan antara TAP MPR, UU Sisdiknas, dan kebijakan kurikulum. Kebijakan kurikulum hanya memperdulikan ketentuan dari UU Sisdiknas tapi tidak TAP MPR Foto 4: Nama Sekolah ini Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), menggantikan SMP. __________Nama SLTP adalah nama yang digunakan UU nomor 2 tahun 1989.   Sumber: Website SMPN 8 Yogyakarta  2.Struktur Kurikulum SLTP 1994   141
Struktur Kurikulum SLTP 1994 lebih sederhana dibandingkan struktur kurikulum sebelumnya.



No.
Mata Pelajaran
Kelas
I
II
III
1.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
2.
Pendidikan Agama
2
2
2
3.
Bahasa Indonesia
6
6
6
4.
Matematika
6
6
6
5.
Ilmu Pengetahuan Alam
6
6
6
6.
Ilmu Pengetahuan Sosial
6
6
6
7.
Kerajinan Tangan dan Kesenian
2
2
2
8.
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
2
2
2
9.
Bahasa Inggeris
4
4
4
10.
Muatan Lokal (sejumlah mata pelajaran)
6
6
6
Jumlah
42
42
42

Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 terlihat pada penempatan semua mata pelaran dalam satu kelompok dan dengan demikian mata pelajaran yang satu sama dengan mata pelaajaran lain dalam fungsinya. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bersama-sama dengan mata pelajaran Pendidikan Agama yang dalam kurikulum sebelumnya dimasukkan dalam kelompok dasar atau pembinaan jiwa Pancasila. Kurikulum SMP 1994 tidak mengenal kelompok dan dengan demikian tidak memisahkan posisi kedua mata pelajaran tersebut dari mata pelajaran lainnya. Biasanya dalam struktur kurikulum mata pelajaran dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam fungsi dan tujuan yang hendak dicapai oleh sejumlah mata pelajaran. Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 ditunjukkan pula oleh penggabungan mata pelajaran/bidang studi PMP dan PSPB menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Penggabungan juga dilakukan antara biologi dan fisika yang dijadikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan alokasi waktu yang satu yaitu 6 jam belajar. Penggabungan dalam Kurikulum SMP 1994 dilakukan juga terhadap mata pelajaran kesenian dan mata pelajaran ketrampilan menjadi mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Kurikulum SMP 1994 tetap menggunakan filosofi perenialisme yang masih dalam kelompok pendidikan disiplin ilmu tetapi memperoleh organisasi “broadfield” yaitu mata pelajaran IPS dan IPA. Artinya secara filosofis tidak ada perubahan antara Kurikulum SMP 1994 dari Kurikulum SMP 1984 walaupun haru diakui bahwa Kurikulum SMP 1994 menerapkan filosofi perenialisme lebih utuh dibndingkan Kurikulum SMP 1984. Dalam Kurikulum SMP 1994 mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tidak dipecah menjadi Biologi dan Fisika seperti yangg dilakukan Kurikulum SMP 1984. Terlepas dari kesederhanaan yang ditunjuk dalam struktur, Kurikulum SMP 1994 memberikan beban belajar yang lebih tinggi kepada peserta didik. Dengan jumlah mata pelajaran sebanyak 10, lebih sedikit dibandingkan Kurikulum SMP 1984 (yang terbanyak dalam bidang studi) dan Kurikulum SMP 1975, jam belajar peserta didik dalam Kurikulum SMP 1994 lebih tinggi yaitu 42 jam setiap semester dibandingkan Kurikulum SMP 1975 yang 37 jam setiap semester dan Kurikulum SMP 1984 yang dimulai dengan 38 jam di kelas I kemudian menurun ke 37 jam di kelas II dan menurun lagi menjadi 36 jam di kelas III. Perubahan yang ditunjukkan oleh Kurikulum SMP 1994 adalah pendekatan mata pelajaran, bukan bidang studi. Dengan pendekatan mata pelajaran maka pendekatan bidang studi hanya digunakan oleh Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Pendekatan mata pelajaran untuk organisasi konten kurikulum memang lebih umum dan melalui Kurikulum SMP 1994 pendekatan mata pelajaran yang digunakan kurikulum SMP sebelum Kurikulum 1975 dihidupkan kembali oleh Kurikulum 1994. Mata pelajaran lebih sederhana dan tidak mengundang tafsiran yang berbeda antara pengembang dan pelaksana kurikulum. Pemaknaan yang sama dalam istilah kurikulum antara pengembang dan pelaksana kurikulum sangat penting untuk keberhasilan implementasi kurikulum. Guru sebagai pelaksana tahu secara tepat apa yang dimaksudkan pengembang kurikulum sehingga ketika guru mengembangkan dokumen kurikulum menjadi kurikulum sebagai suatu realita atau “observed curriculum” maka ide pengembang kurikulum dapat dilaksanakan dengan tepat pula. Kurikulum SMP 1994 tidak menganut paham penawaran selang semester (alternate semester), perbedaan beban belajar semester atau kelas sebagaimana yang digunakan Kurikulum SMP 1984. Kurikulum SMP 1994, sebagai kurikulum sebelum 1984, mengembangkan sistem penawaran setiap semester dan beban belajar setiap semester untuk setiap mata pelajaran. Konstruksi struktur kurikulum yang demikian memang memberikan kemudahan kepada sekolah dalam merencanakan implementasi terutama dalam mengatur jam pelajaran. Kesamaan beban belajar setiap semester menyebabkan guru lebih mudah memberikan pertimbangan mengenai kedalam materi yang akan dipelajari peserta didik setiap semester. Kuurikulum 1994 memiliki beban belajar/jam belajar yang lebih besar yaitu 42 jam tanpa menghitung mata pelajaran Bahasa Daerah yaitu 42 jam per semester. Beban belajar ini lebih tinggi dari Kurikulum SMP 1984 yang memiliki jam belajar tertinggi 38 jam dan kemudian menurun pada tahun berikutnya. Jumlah jam 42 untuk Kurikulum SMP 1994 sama untuk seluruh kelas dan tidak ada pengurangan jam belajar untuk mata pelajaran tertentu sebagaimana yang ada pada Kurikulum SMP 1984. Baik mata pelajaran Matematika mau pun IPS memiliki jam pelajaran yang sama untuk setiap tahun untuk masing-masing mata pelajaran. Kurikulum SMP 1994 memandang mata pelajaran Bahasa Indonesia, Maatematika, IPA dan IPS dalam kedudukan yang sama dan mendapatkan alokasi jam belajar yang sama yaitu masing-masing 6 jam. Sedangkan untuk kesenian dan ketrampilan tangan digabungkan dalam satu mata pelajaran dengan label mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Alokasi jam untuk mata pelajaran ini sangat rendah dibandingkan alokasi dalam Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Tampaknya pikiran (ide) kurikulum para pengembang Kurikulum SMP 1994 tidak memandang pendidikan Kesenian dan Kerajinan Tangan sama pentingnya dibandingkan pikiran (ide) para pengembang Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Mata pelajaran muatan lokal yang diperkenalkan sejak Kurikulum SMP 1984 masih tetap dipertahankan dalam Kurikulum SMP 1994. Pendekatan mata pelajaran untuk materi muatan lokal pun masih digunakan. Kebijakan bahwa keputusan tentang mata pelajaran muatan lokal oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap dipertahankan. Sebagaimana yang terjadi pada Kurikulum SMP 1984, penetapan materi muatan lokal sebagai mata pelajaran wajib yang terjadi hampir di setiap daerah tidak berbeda yaitu bahasa daerah dan kesenian daerah. Posisi mata pelajaran bahasa daerah dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran wajib dalam Keadaan seperti ini masih dipertahankan pada saat pemerintah memberikan wewenang yang lebih besar kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum sekolah masing-masing dan dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).      
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar